Lulusan Teknik Dirgantara yang Kini Berkarier di Meta

Lulusan Teknik Dirgantara yang Kini Berkarier di Meta

Cerita Brian Mohammed Catraguna, Lulusan Bangkit 2021 yang Berkarier di Meta, Perusahaan Teknologi Pemilik Facebook, Instagram, dan WhatsApp

Keinginan untuk menjadi seorang talenta teknologi bisa dimiliki oleh siapa pun, terlepas dari latar belakang pendidikan yang seseorang miliki. Brian Mohammed Catraguna (25) seorang lulusan Teknik Dirgantara dari Institut Teknologi Bandung (ITB) juga memiliki mimpi untuk bisa menjadi talenta teknologi.

Untuk menggapai keinginannya tersebut, pemilik nama panggilan Brian ini ikut serta dalam program Bangkit yang diinisiasi oleh Google dan didukung GoTo, Tokopedia, dan Traveloka. Setelah belajar mobile development (Android) selama lebih dari 900 jam di Bangkit, Brian lulus dengan membawa bekal penting untuk karier masa depannya.

💻 Mulai Belajar Pemrograman

Belajar pemrograman di Dicoding Academy dan mulai perjalanan Anda sebagai developer profesional.

Daftar Sekarang

Bekal itulah yang mengantarkannya untuk melanjutkan pendidikan S2 di New York University, jurusan Computer Engineering, dan diterima di perusahaan impiannya, Meta. 

Bagaimana perjalanan Brian saat mengikuti Bangkit, menempuh pendidikan di Amerika Serikat,  hingga akhirnya bekerja di perusahaan pemilik Facebook, Instagram, dan WhatsApp tersebut? Mari ikuti kisah inspiratifnya!

Berawal dari Mempelajari Pemrograman di Kampus

Brian Mohammed Catraguna, Lulusan Bangkit 2021

Brian lahir dan tumbuh di dua kota besar, Bandung dan Jakarta. Ayah anak sulung dari dua bersaudara ini bekerja di sektor keuangan, sedangkan ibunya berperan sebagai ibu rumah tangga. 

Karier menjanjikan dalam bidang keuangan yang ayahnya miliki sempat membuat Brian tertarik untuk bekerja di sektor yang sama. Namun, ia berubah pikiran saat melanjutkan studi di ITB, tepatnya di jurusan Teknik Dirgantara.

Selama menjalani perkuliahan, Brian tak hanya berkutat dengan ilmu matematika yang cukup rumit, seperti kalkulus, tetapi juga berkenalan dengan bahasa pemrograman C++. Pertemuannya dengan mata kuliah tersebut membuat Brian menegaskan pada dirinya sendiri, “Sepertinya, saya harus mendalami coding.”

Sejak saat itu, Brian mulai menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari Python dan menonton video tutorial di YouTube. Ia bahkan mengalokasikan waktu delapan jam sehari untuk belajar coding, mengikuti kelas online, dan membuat project sendiri.

“Satu hal yang saya sukai dari programming adalah kita bisa buat apa pun dalam waktu singkat meski dengan sumber daya yang sedikit,” ungkap Brian.

Kemudian, pada tahun 2020, ilmu pemrograman, seperti machine learning (ML), menjadi topik yang hangat dibicarakan. Popularitas machine learning membuat Brian mengangkat tema tersebut untuk topik tugas akhir di perkuliahannya. Lebih tepatnya, peran ML/AI dalam pengembangan komponen pesawat terbang, biomekanika, dan juga soft robotics.

Capstone Project adalah Bagian Favorit Brian di Bangkit

Capstone Project adalah Bagian Favorit Brian di Bangkit

Setelah mempelajari beberapa ilmu dasar pemrograman, Brian terpacu untuk mengikuti program intensif yang bisa meningkatkan kemampuannya. Keinginan itu terwujud saat ia tak sengaja melihat iklan registrasi Bangkit 2021 di LinkedIn. 

Segera, Brian melakukan riset dan mengetahui bahwa ada senior di kampusnya yang pernah mengikuti Bangkit pada tahun 2020.

“Melihat Bangkit memiliki tiga alur belajar: Machine Learning, Cloud Computing, dan Mobile Development, saya pun segera mendaftar tanpa berpikir lama. Saat itu, saya diterima di alur Mobile Development,” ceritanya.

Pada alur belajar Mobile Development (Android), Brian merasa senang karena mendapat banyak pengetahuan baru, khususnya tentang cara membuat aplikasi berbasis Android. Ia belajar dari kelas-kelas yang disediakan oleh Dicoding.

“Setelah belajar ilmu dasarnya, seperti Kotlin, dan bikin aplikasi sederhana, seperti kalkulator, saya semakin tertarik untuk memperdalam ilmu di mobile development,” tambahnya.

Selama di Bangkit, Brian juga mengerjakan banyak proyek, salah satunya adalah membuat aplikasi untuk film. Lewat aplikasi tersebut, pengguna bisa mencari film, memasukkannya ke daftar favorit, dan bahkan menonton trailer-nya langsung.

Namun, dari semua pengalamannya di Bangkit, capstone project adalah bagian favoritnya. Proyek tersebut adalah “tugas akhir” yang wajib dikerjakan oleh peserta Bangkit dan Brian melihatnya sebagai kesempatan untuk mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajarinya.

Dalam proses pengerjaan capstone project, Brian mendapatkan pengalaman mengembangkan full-stack, di sana ia mempelajari machine learning dan cloud computing. Akhirnya, Brian dan tim berhasil membuat aplikasi yang dapat mendeteksi situasi berbahaya dari rekaman suara.

“Aplikasi yang saya dan tim buat dapat membantu pengguna merekam situasi berbahaya dengan suara. Rekaman seperti ‘Tolong rumah saya kebakaran,’ dapat diterjemahkan lalu diklasifikasikan ke dalam kategori kriminal, kebakaran, atau kecelakaan,” jelasnya.

Brian pun mendapatkan pengalaman berharga sekaligus portofolio yang kuat. Jadi, setelah lulus Bangkit, ia langsung bekerja di GudangAda sebagai software engineer (Android). Brian merasa bahwa bekal yang diperolehnya dari Bangkit berkontribusi pada keberhasilan kariernya, baik dari segi teknis maupun soft skills.

“Disajikan dengan struktur pembelajaran yang rapi, ilmu-ilmu teknis, seperti Kotlin, di Bangkit yang memanfaatkan platform Dicoding sangat mudah saya pahami dan terapkan sampai sekarang. Bangkit memastikan semua lulusannya punya dasar yang kuat di bidang Android dan bidang lainnya,” ungkap Brian.

Selain itu, pelatihan bahasa Inggris dari Bangkit juga membantu Brian terbiasa berinteraksi dengan rekan kerjanya menggunakan bahasa Inggris. Kebetulan, di kantor, ada beberapa kolega yang berasal dari mancanegara. Banyak istilah teknis dalam software engineer yang langsung ia pahami ketika berbicara dengan mereka.

Tak hanya dalam hal komunikasi bahasa Inggris, Brian mengakui bahwa Bangkit juga mengajarkan pentingnya membangun personal branding. Tentu saja, ini adalah cara utama agar seorang talenta digital dapat lebih dikenal dan diakui dalam bidang yang ia geluti.

Melanjutkan Pendidikan di Amerika Serikat, Lalu Bekerja di Meta

Melanjutkan Pendidikan di Amerika Serikat, Lalu Bekerja di Meta

Memiliki pekerjaan tetap tak serta merta membuat Brian berhenti mempelajari hal baru. Jauh di lubuk hatinya, Brian memiliki keinginan untuk menempuh pendidikan master dalam bidang Teknik Komputer. Tekad kuat ini membawanya untuk mendaftar S2 di luar negeri, meskipun proses pendaftarannya cukup sulit.

“Banyak yang harus disiapkan, seperti tes GRE dan TOEFL. Tentu ada beberapa berkas tambahan yang harus disiapkan untuk masing-masing universitas yang saya lamar, semuanya saya kerjakan sembari bekerja,” ungkapnya.

Impian Brian untuk melanjutkan studi di Amerika nyaris kandas. Dari sepuluh universitas yang ia lamar, sembilan di antaranya mengirim surat penolakan. Namun, Brian tak menyerah, ia terus memoles esainya hingga akhirnya, surat penerimaan dari New York University (NYU) mendarat di tangannya.

Di NYU, Brian mengambil program studi Teknik Komputer, dengan spesialisasi Machine Learning dan Database Systems. Lewat ambisinya yang membara, Brian lulus sebelum waktunya—masuk pada bulan Agustus 2022, lulus pada bulan Desember 2023.

Selama berkuliah, Brian tak ingin melewatkan kesempatan magang di perusahaan teknologi ternama di Amerika, seperti Google. Di sana, ia melamar sebagai software engineer. Dengan persiapan matang, termasuk mengerjakan lebih dari 500 soal Leetcode, Brian berhasil melewati proses wawancara untuk tim YouTube.

“Sayangnya, waktu itu saya sudah mendaftar di GameChanger sehingga tidak bisa mengajukan perusahaan untuk magang lagi, di mana itu adalah Google. Dengan berat hati, saya pun harus melepas kesempatan magang tersebut,” begitu diceritakannya.

Enam bulan setelahnya, Brian lulus S2 dan seorang teman menawarkan kesempatan untuk melamar ke Meta, perusahaan teknologi multinasional Amerika yang menaungi Facebook, Instagram, Threads, dan WhatsApp. Setelah menjalani beberapa tes yang ketat, Brian berhasil lolos ke tahap wawancara. Setelahnya, ia melakukan latihan wawancara dengan mentornya.

“Mentor saya, Mas Gogo, yang pernah bekerja di Facebook selama lebih dari tujuh tahun, membantu saya semalam sebelumnya. Beliau sempat bilang saya belum siap dan akan gagal, tetapi saya justru semakin termotivasi dan belajar lebih giat,” ujar Brian.

Pada penutup rangkaian wawancara di Meta, Brian harus menghadapi behavioral interview. Brian memakai metode STAR (situation, task, action, result) yang diperolehnya selama program Bangkit, dan ia menyusun cerita yang tepat untuk menunjukkan kemampuannya.

Tiga hari setelah wawancara, Brian dinyatakan lolos dan diarahkan untuk melakukan beberapa tes lagi, sebelum akhirnya bergabung ke tim AI Infra Efficiency di Meta. 

“Di sini, saya bertugas untuk meningkatkan efisiensi proses training dan inference dalam machine learning dalam berbagai tim AI Meta. Tujuannya adalah mengoptimalkan penggunaan sumber daya sekaligus menghemat biaya operasional,” katanya.

5 Tips Jitu Meraih Karier Impian di Meta ala Brian

5 Tips Jitu Meraih Karier Impian di Meta ala Brian

Perjuangan Brian yang luar biasa, mulai dari menempuh studi di ITB, belajar di Bangkit, hingga akhirnya menjadi software engineer di Amerika, sungguh inspiratif. Ia tentu menghadapi berbagai tantangan yang menguji tekad dalam perjalanannya. Namun, kegigihannya terus mendorongnya maju.

Saat ditanya mengenai strategi untuk diterima di perusahaan teknologi raksasa, seperti Meta, Brian membagikan beberapa tips jitunya:

  1. Jalin koneksi yang kuat: Brian menekankan pentingnya membangun koneksi yang kuat di industri teknologi. Jalin hubungan dengan orang-orang yang ahli di bidangnya karena hal itu dapat menambah wawasan kita dan memberikan kita kesempatan untuk bisa berkarir di industri ternama melalui jalur rekomendasi.
  2. Riset perusahaan yang diincar: Selain koneksi, Brian juga menyoroti pentingnya riset menyeluruh saat mempersiapkan wawancara. Pahami apa keahlian yang dicari perusahaan. Selalu luangkan waktu untuk mempraktikkan kemampuan yang relevan karena penguasaan materi yang kuat akan melahirkan kepercayaan diri saat wawancara.
  3. Manajemen waktu: Menyeimbangkan waktu untuk bekerja, belajar, dan menjalani kehidupan pribadi sangat penting untuk menghindari burnout. Brian menekankan pentingnya manajemen waktu yang efektif. Meski terkadang harus lembur, penting untuk kita memprioritaskan tugas yang sejalan dengan tujuan kita.
  4. Siapkan resume yang solid: Capstone project dari Bangkit adalah salah satu contoh pengalaman dalam resume yang bisa ditonjolkan. Selaraskan keahlian dengan persyaratan yang dibutuhkan, kemudian jelaskan quantifiable impact yang sudah dibuat terhadap perusahaan tempat kita bekerja.
  5. Disiplin: Di atas segalanya, Brian menekankan pentingnya kedisiplinan, baik saat mengerjakan soal LeetCode untuk struktur data dan algoritma, maupun saat melatih jenis wawancara lainnya. Sebagai contoh, Brian menyelesaikan lebih dari 800 soal LeetCode sebelum wawancara di Meta.

Terlepas dari jurusan kuliahnya dulu, Brian percaya bahwa siapa pun bisa sukses dalam bidang teknologi, jika mau berusaha dengan gigih. Ia menyarankan untuk mempelajari teknologi dengan penuh semangat sehingga terasa lebih menyenangkan.

“Pesan untuk para calon talenta digital, jika kamu berlatar belakang pendidikan non-teknologi, jangan langsung berputus asa. Di masa kini, semua orang punya kesempatan yang sama untuk belajar dan bersaing di bidang teknologi. Manfaatkanlah hal itu,” tutup Brian.


Belajar Pemrograman Gratis
Belajar pemrograman di Dicoding Academy dan mulai perjalanan Anda sebagai developer profesional.