Apa Iya, Programmer Itu Pasti Wibu?

Wibu …. Wibu….

Apakah kamu familier dengan sebutan itu? Atau malah kamu menjadi salah satu orang yang disapa dengan panggilan itu?

Kata itu kini menjadi satu hal yang sering disebut-sebut, terutama di media sosial. Sampai-sampai kehadirannya diakui dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

💻 Mulai Belajar Pemrograman

Belajar pemrograman di Dicoding Academy dan mulai perjalanan Anda sebagai developer profesional.

Daftar Sekarang

Ada sebuah rumor bahwa banyak programmer itu wibu. Dengan adanya rumor tersebut, tak jarang jurusan teknik informatika, sistem informasi, atau semacamnya disebut sebagai sarang wibu, khususnya di fakultas teknik atau MIPA. Apakah ini benar?

Definisi dan Sejarah

Pengertiannya dapat berbeda-beda bagi setiap orang. Ada yang berpendapat bahwa wibu adalah orang yang sering memakai hoodie, kacamata kotak, masker, dan tas bawaan laptop. Misalnya Haikal Ken, salah satu influencer terkenal yang juga dikenal karena kewibuan-nya.

Haikal Ken, salah satu influencer wibu.

Sumber: TikTok Haikal Ken

Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang yang sering cosplay karakter-karakter tertentu. Bahkan, seseorang yang berpendapat seperti ini sering kali tidak peduli bahwa karakter tersebut benar berasal dari Jepang atau tidak. Hal yang penting adalah karakter tersebut terlihat seperti “anime”, yakni sebutan untuk kartun/animasi khas Jepang.

Cosplayer Genshin Impact, sumber: Dunia Games

Sumber: Dunia Games

Ada pula yang beranggapan bahwa sebenarnya orang yang menonton anime juga sudah termasuk wibu. Terutama kalau dia selalu menghabiskan waktu luang dengan menonton anime dan sangat update dalam mengikuti perkembangannya. Misalnya, karakter barunya siapa, konfliknya sudah sampai mana, hingga siapa karakter yang sudah terbelah kayak “es kiko” … eh.

Ilustrasi programmer menonton Jujutsu Kaisen.

Namun, apakah kamu benar-benar tahu arti yang sebenarnya?

Dilansir dari Magdalene, kemunculan kata “wibu” tak dapat dipisahkan dari munculnya istilah wapanese atau white japanese, singkatan lainnya adalah wannabe japanese. Ini awalnya digunakan sebagai istilah terhadap orang-orang kulit putih yang terobsesi dengan budaya Jepang. Istilah tersebut muncul pada awal tahun 2000-an.

Seiring berjalannya waktu, istilah wapanese digantikan oleh weeaboo yang awalnya muncul dalam komik The Perry Bible Fellowship oleh Nicholas Gurewitch. Sebenarnya, istilah weeaboo ini tak jelas makna sebenarnya. Namun, seorang moderator di salah satu forum anonim, menggunakan istilah weeaboo ini untuk menggantikan wapanese.

Berbeda dengan istilah wapanese yang lebih condong untuk menyebut orang-orang kulit putih saja, weeaboo digunakan untuk menyebut “siapa pun” yang terobsesi dengan budaya Jepang. 

Menurut Otakuliah, konotasi weeaboo ini awalnya sebagai alternatif penyebutan yang lebih positif. Namun, lama kelamaan istilah weeaboo atau wibu (dalam bahasa Indonesia) ini kembali dipergunakan sebagai ejekan, terutama oleh orang-orang di Indonesia.

Meskipun begitu, orang yang benar-benar menggemari jejepangan biasanya tak ambil pusing dengan istilah wibu. Mereka menerima hal tersebut sebagai candaan semata. Sering kali bahkan mereka terlihat sangat solid dan mendukung satu sama lain.

“Cocoklogi” Programmer Wibu

Nah, lalu bagaimana bisa stereotip ini menyempit, bahkan hingga pada programmer? Ada anggapan bahwa programmer itu kebanyakan atau malah pasti wibu. 

Pertanyaan di Quora tentang wibu.

Hal ini bisa muncul karena orang-orang dengan stereotip wibu, seperti selalu memakai hoodie dan kacamata kotak, menonton anime jika ada waktu luang, hingga ke event jejepangan banyak yang berlatar belakang programmer. Entah itu sedang berkuliah di jurusan komputer/informatika ataupun bekerja sebagai developer/programmer.

Ketika akun Ecommurz menjelaskan tentang wibu.

Sumber: Ecommurz di Instagram

Biasanya, programmer menjadi wibu, atau wibu menjadi programmer, memiliki motivasi serupa, yakni agar bisa menghabiskan waktu luang dengan tak jauh-jauh dari komputer. Ini karena komputer atau laptop biasanya menjadi akses mudah menuju budaya jejepangan, mulai dari game, anime, hingga musik J-pop.

Ada pula anggapan lainnya tentang fenomena tersebut. Jadi, ada beberapa dari mereka juga terjun ke dunia pemrograman untuk meningkatkan status sosial. Mengingat orang-orang yang bergelut di dunia teknologi dapat menghasilkan pendapatan besar.

Sebaliknya, seorang programmer juga dapat menjadi wibu karena lingkungannya. Jadi, orang-orang tersebut ingin lebih tahu atau “paham” dengan hal-hal yang banyak dibicarakan di lingkungannya. Jadilah mereka mulai mencari tahu hingga akhirnya menggemari produk dari budaya populer Jepang.

Pendapat tentang Wibu

Begitulah anggapan terkait programmer dan wibu. Namun, di Dicoding sendiri, bagaimana tanggapan terhadap asumsi tersebut?

Ahmad Imaduddin – Managing Editor

Menurut Ahmad, seseorang yang hanya sekadar menonton anime, terutama yang sudah populer atau mainstream (seperti Naruto dan One Piece) belum dapat disebut sebagai wibu. Baginya, untuk menganggap seseorang itu wibu atau tidak, dia harus mengenal lebih dalam dan mengobrol lebih banyak tentang dunia entertainment Jepang.

“Kalau dia excited atau antusias, terus paham ketika ngebahas hiburan jejepangan, dan yang dia ketahui bukan yang mainstream, ya dia bisa dibilang wibu,” begitu ujarnya.

Namun, Ahmad pun mengatakan bahwa sangat jarang ia ketahui programmer yang dapat disebut sebagai wibu. Terutama di kalangan teman-teman seangkatannya saat dia berkuliah. Ia bercerita, “Soalnya pada saat itu, ya, programmer bisa menghabiskan waktu luang dengan apa saja, nggak mesti nonton anime atau main game, bisa juga olahraga, atau lainnya.”

Habibi Mustafa – Product Engineer

Serupa tetapi tak sama dengan yang dikatakan Ahmad, Habibi juga menganggap bahwa syarat menjadi wibu justru sangat sulit. Baginya, orang-orang yang dapat masuk dalam kategori itu haruslah sangat terobsesi, bahkan menganggap dirinya hidup di dunia anime.

“Sebenarnya untuk menjadi wibu itu kan, bisa dikatakan sangat sulit, benar-benar di luar kebiasaan orang pada umumnya. Kalau misalnya dia cuma nonton anime, atau belajar bahasa Jepang, menurutku itu bukan wibu. Itu cuma disematkan pada orang yang menganggap dirinya sudah mirip seperti karakter di anime,” begitu ungkapnya.

Habibi pun mengatakan bahwa saat ia berkuliah di jurusannya dulu, teman-temannya hanya sampai pada tahap menonton anime. Tidak ada yang terobsesi dengan budaya populer Jepang tersebut dan itu pun jumlahnya hanya 25% dari keseluruhan, menurut pengamatannya.

Lis Anisa – Creative Content Designer

Sedikit berbeda dengan dua pendapat sebelumnya, Lis melihat bahwa stereotip “wibu” memang sudah cukup melekat di jurusannya. Terutama karena ia dulu berkuliah di salah satu universitas di Yogyakarta yang cukup terkenal dengan kualitasnya dalam bidang ilmu komputer.

Bahkan, Lis menunjukkan hasil pencarian di Google bahwa ada banyak konten, terutama di media sosial, yang menampilkan keterhubungan antara label “wibu” dengan jurusannya.

Namun, berdasarkan penglihatannya, Lis menyebutkan bahwa dahulu di kelasnya hanya tiga orang yang benar-benar cocok dengan stigma wibu. Sisanya, mereka hanya sekadar hobi nonton anime saja. 

“Biasanya orang-orang yang suka anime dan budaya Jepang lainnya, mereka bikin circle sendiri dan hanya berteman dengan orang yang juga suka hal-hal jejepangan,” ujarnya.

Rafy Ardhanie – Curriculum Developer

Ketika ditanya apa itu wibu, Rafy tidak tahu pasti jawabannya. Bahkan, Rafy pun merasa bingung ketika menjumpai seseorang yang dipanggil kata tersebut oleh lingkungannya. “Aku juga kurang tahu pasti, apakah itu karena penampilannya, karena ia suka nonton anime, atau apa?” ucap Rafy dengan heran.

Rafy pun mengungkapkan seorang yang bergelut di dunia pemrograman dapat menjadi wibu karena itulah cara paling memungkinkan bagi mereka untuk menghabiskan waktu luang. 

Tugas-tugas dan pekerjaan yang biasanya terpaku di laptop atau komputer membuat mereka lebih suka menghabiskan waktu di dalam ruangan dibandingkan pergi ke luar, seperti nongkrong di kafe. “Kalaupun mereka mesti nongkrong di cafe, pastilah bawa laptop,” ungkap Rafy.

Ketika ditanya apakah programmer pasti wibu, Rafy mengungkapkan belum tentu. “Mereka belum pasti wibu, tetapi kebanyakan mungkin saja.” Begitu pendapatnya. 

Zanuar Ekaputra – Product Engineer

Zanuar memiliki pendapat yang cukup berbeda dengan pendapat-pendapat sebelumnya. Baginya, jika seseorang itu sangat sering menonton anime, bermain game dari Jepang, dan mengikuti perkembangannya, dia sudah dapat dikatakan sebagai seorang wibu.

Namun, wibu bagi Zanuar tidak selalu sesuai dengan stereotipnya. Misalnya, ketika banyak orang menganggap mereka itu anti sosial dan tidak mau bergaul, Zanuar tidak melihat seperti itu. Zanuar juga menganggap bahwa mereka yang tidak memperhatikan penampilan hanya karena ia belum tahu saja cara merawat diri yang benar.

Meski Zanuar tidak termasuk orang yang menganggap wibu sebagai aib, ia tidak buru-buru mengatakan programmer itu pasti wibu. “Tergantung cara programmer itu menghabiskan waktu mereka, apakah banyak diisi dengan hal-hal berbau Jepang atau tidak,” begitu katanya.

 

Begitulah pendapat orang-orang di Dicoding mengenai label “wibu” pada programmer. Mereka mengatakan bahwa tidak serta merta programmer itu dapat dicap seperti itu. Tentu perlu mengenal lebih dalam tentang keseharian orang tersebut sampai terbukti bahwa ia sangat suka atau antusias dengan budaya jejepangan

Nah, menurut kamu bagaimana? Apakah programmer itu pasti wibu? Bisa dituliskan di kolom komentar, ya.


Belajar Pemrograman Gratis
Belajar pemrograman di Dicoding Academy dan mulai perjalanan Anda sebagai developer profesional.