Gabriel Triestan Hargowandono: Bintang Kecil yang Terang dalam Gulita

Cerita Siswa SMP Tangguh Penerima Beasiswa Dicoding untuk Pendidikan dengan Segudang Prestasi

“Bebaskan potensi seorang anak dan ia akan berubah jadi seisi dunia.”
Maria Montessori

Jika kita diminta untuk membayangkan sosok siswa kelas VII SMP, mungkin apa yang ada di benak kita adalah seseorang yang baru menyambut masa remajanya. Transisi dari masa anak-anak ke masa remaja biasanya dihiasi oleh momen eksplorasi yang tak ada habisnya. Tak jarang kita mencoba berbagai hal yang membuat kedua orang tua geleng-geleng kepala.

Namun, saat kebanyakan anak remaja awal memilih untuk jadi pelangi yang berbagai warnanya memukau banyak orang, Gabriel Triestan Hargowandono (13) memilih untuk jadi bintang kecil dengan sinar yang terang dalam gulita. Meski belum dewasa, ia sudah memikul mimpi besar di pundaknya. Untuk mewujudkan mimpinya agar suatu hari bisa sehebat Bapak B.J. Habibie, Gabriel bersemangat menempuh jarak 80 km dengan bus antarkota ke sekolah setiap hari.

💻 Mulai Belajar Pemrograman

Belajar pemrograman di Dicoding Academy dan mulai perjalanan Anda sebagai developer profesional.

Daftar Sekarang

Selain ingin jadi tokoh secerdas B.J. Habibie, Gabriel pun bercita-cita untuk bisa mendalami ilmu informatika. Tak heran jika Gabriel kemudian berhasil menjadi pelajar termuda yang memperoleh Beasiswa Dicoding untuk Pendidikan.

Kendarai Bus Antarkota selama 1,5 Jam ke Sekolah

Gabriel adalah anak kedua dari dua bersaudara yang menetap bersama keluarganya di Kecamatan Balapulang, Kabupaten Tegal. Ia belum lama tinggal di desanya yang dipenuhi oleh sawah dan hutan ini. Sebelumnya, Gabriel dan keluarga sempat tinggal di Tangerang. Namun pandemi memberikan imbas yang cukup besar bagi perekonomian keluarga Gabriel.

Akhirnya, kembali memulai hidup dari 0, Gabriel dan keluarga memutuskan untuk pindah ke rumah peninggalan mendiang sang nenek di Kabupaten Tegal. Ia dan keluarga bertugas mengurus kebun milik keluarga besar.

Ingin agar sang putra mendapatkan pendidikan terbaik meski harus menyesuaikan diri dengan keadaan, kedua orang tua Gabriel menyekolahkan putra bungsunya ini ke SMPN 1 Purwokerto. Jarak tempuh antara rumah dan sekolah yang sejauh 80 km membuat Gabriel harus mengendarai bus antarkota setiap hari.

“Aku masuk sekolah pukul 07.15, tapi harus sudah stand by nunggu bus sejak pukul 02.30, dan dapat bus sekitar jam 03.00 – 03.30. Karena perjalanan ke sekolah sekitar 1,5 jam, aku bisa tidur dulu di bus. Sedangkan kalau pulang sekolah, karena macet, biasanya perjalanannya selama 2,5 jam.”

Gabriel harus bangun pukul 01.30 setiap hari agar punya waktu untuk bersiap dan sarapan sebelum berangkat mencari bus sejam setelahnya. Terkadang, saat Gabriel datang terlalu pagi ke sekolah, ia akan menyempatkan diri untuk ikut misa di Katedral Purwokerto.

Prestasi dan Kegiatan Internasional yang Tak Ada Habisnya

Sejak SD, Gabriel sudah menjadi bintang yang menerangi keluarganya. Ia punya segudang prestasi membanggakan di bidang Matematika dan Sains. Saat masih kelas IV SD, Gabriel menjadi 40 peserta terbaik dari total 1.100 peserta di Australian Mathematics Competition 2019. Kemudian di tahun yang sama, Gabriel pun menjuarai Japan International Science and Mathematics Olympiads yang melibatkan 3.040 peserta.

Setelah cukup ahli di bidang Matematika dan Sains, Gabriel yang pernah bersekolah di SD Tarakanita Citra Raya, Tangerang, mulai mengenal mata pelajaran Teknologi Terapan di kelas V. Ketertarikan itu tumbuh saat Gabriel menyabet gelar siswa terbaik dalam mata pelajaran ini saat kelas V dan VI.

Beranjak ke bangku SMP dan harus memulai hidup baru di Kabupaten Tegal, Gabriel masih memupuk minatnya di bidang Matematika dan Sains. Di kelas VII, Gabriel berhasil meraih medali emas di Olimpiade Matematika tahun 2021 yang diselenggarakan oleh Liga Olimpiade dan Lembaga Kompetisi. Kemudian di kompetisi 2nd ASEAN Student Science Olympiad 2021 yang melibatkan empat negara, Gabriel menduduki peringkat 50 besar dari 1.500 peserta yang ikut.

Prestasi ini membuatnya mendapatkan panggilan tes untuk ASEAN Scholarship dari Kementerian Pendidikan Singapura. Gabriel berhasil lolos tes tersebut dan mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan selama 3 tahun di Negeri Singa. Namun usianya yang masih terlalu muda membuat Gabriel belum cukup berani untuk tinggal sendiri di sana. Ia pun melepaskan peluang tersebut dan akan mengejarnya lagi nanti saat beranjak ke SMA.

Aktif Ikut Kegiatan NASA dan Belajar Bahasa Jerman

Gabriel terjun ke dunia internasional tak hanya untuk berkompetisi. Ia juga aktif ikut kegiatan internasional yang menambah wawasan dan pengalamannya. Salah satu kegiatan tersebut adalah Mission to Mars Student Challenge yang diadakan oleh NASA. Hal ini membuatnya berkesempatan untuk belajar bersama NASA secara daring.

Seakan energi Gabriel tak ada habisnya, ia juga mengisi waktu luangnya dengan ikut kursus bahasa Jerman. Bahasa asing satu ini sudah ia pelajari sejak kelas 4 SD hingga sekarang. Kesanggupan dan semangat belajar Gabriel membuatnya memperoleh beasiswa penuh dari tempat kursusnya.

Kini, meski masih duduk di kelas VII SMP, bahasa Jerman Gabriel sudah sampai pada tingkat A2. Tingkatan bahasa A2 ini membuat Gabriel bisa berkomunikasi dalam bahasa Jerman untuk kegiatan sehari-hari. Mereka yang sudah peroleh sertifikat A2 juga bisa mendaftarkan diri untuk ikut beberapa kerja sosial di Jerman.

Semangat Gabriel dalam belajar bahasa Jerman ini dilatarbelakangi oleh cita-citanya untuk berkuliah di Jerman suatu hari nanti. Ia ingin sehebat B.J. Habibie dan bisa mengharumkan Indonesia di kancah internasional.

Pelajari Teknologi untuk Atasi Kesenjangan di Desa dan di Kota

Sebagai seorang anak yang tinggal di desa dan bersekolah di kota, Gabriel merasakan berbagai kesenjangan pada kedua area ini, baik dari segi pendidikan maupun teknologi. Oleh karena itu, Gabriel ingin mengatasi kesenjangan ini dengan menjadi seorang ahli teknologi. Ia yang mulanya mempelajari bidang komputer hanya dengan melihat kakaknya yang senang mengedit-edit karya visual, kemudian mulai menaruh keseriusannya di ranah ini.

Jalan Gabriel untuk mempelajari teknologi terbuka saat Gabriel mengikuti Instagram Dicoding dan melihat info Beasiswa Dicoding untuk Pendidikan di sana. Gabriel yang saat itu masih berusia 12 tahun melihat beasiswa ini sebagai peluang terbaik yang harus ia raih, meski kelas pembuatan website yang ditawarkan masih ada di tingkat dasar. Ia berhasil menyelesaikan 55 jam Belajar Dasar Pemrograman Web dan 40 jam Belajar Membuat Aplikasi Flutter untuk Pemula di Dicoding.

“Tidak ada salahnya kan untuk ambil peluang belajar tanpa biaya? Puji Tuhan, aku dapat beasiswa ini. Pengalaman belajarku di Dicoding sangat menyenangkan. Aku jadi bisa bikin web, walaupun tinggal di desa membuat jaringan internetku tidak terlalu stabil.”

Gabriel yang saat ini sedang mempelajari Flutter mengaku merasakan manfaat yang cukup besar dengan belajar di Dicoding. Ia yakin bahwa ilmu yang diperolehnya ini selain bisa mewujudkan mimpinya untuk memajukan desa, dapat pula mendekatkannya dengan cita-citanya untuk jadi seorang tokoh penting di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) layaknya B.J. Habibie.

Didukung Orang Tua dan Jadi Teladan Teman-Temannya

Sejak kecil, Gabriel selalu mendapat dukungan kedua orang tuanya terhadap pilihannya di bidang akademis. Yang terpenting bagi mereka adalah tanggung jawab Gabriel terhadap pilihannya tersebut. Oleh karena itu, keputusan Gabriel untuk meluangkan waktunya yang sempit dengan belajar di Dicoding didukung penuh oleh ayah ibunya.

Kabar mengenai keikutsertaan Gabriel di Dicoding rupanya terdengar hingga ke pihak sekolahnya. Ia pun sempat diminta gurunya untuk mendemonstrasikan cara pembuatan website di depan teman-temannya.

“Aku dengan senang hati menularkan ilmuku pada teman-temanku ini. Mereka jadi tertarik untuk belajar membuat website dan ingin daftar Beasiswa Dicoding untuk Pendidikan jika nanti dibuka lagi.”

Jalan Gabriel untuk bisa terus jadi bintang yang bersinar ini tidak ditempuh dengan mudah. Ia mengaku sering diragukan kemampuannya karena usianya yang masih sangat muda, mengingat ilmu-ilmu yang Gabriel sering coba pelajari kebanyakan diperuntukan bagi pelajar SMA atau mahasiswa.

“Tapi aku tidak putus asa dan selalu andalkan Tuhan dalam perjalanan belajarku. Oleh karena itu, aku berpesan pada teman-teman sebayaku untuk memanfaatkan kesempatan baik apapun dan belajar sedini mungkin mumpung kita masih muda. Manfaatkan juga media sosial dan internet yang kalian punya untuk menambah wawasan.”

Menutup wawancara dengan Gabriel, remaja berusia 13 tahun ini juga punya cita-cita untuk berkuliah di Teknik Nuklir UGM jika belum dapat kesempatan untuk berkuliah di Jerman. Sungguh mimpi-mimpi yang setinggi angkasa, karena Gabriel tidak hanya bercita-cita jadi bintang yang terangi hati kedua orang tuanya, tetapi juga matahari yang cerahkan masa depan Indonesia.


Belajar Pemrograman Gratis
Belajar pemrograman di Dicoding Academy dan mulai perjalanan Anda sebagai developer profesional.